Cari Blog Ini

Selasa, 05 Juli 2011

MAKNA BID'AH

  1. Mengenal Makna Bidah
Ada sekelompok golongan yg suka membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan mingguan, Tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih “Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah saw. telah mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw.  Atau
jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah saw. memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari Rasulullah?
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw. tidak mencontohkan ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan dalam fakta sejarah.

1.   Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”.Dalam riwayat at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal,

‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.

Hadis di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi saw.

2.   Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi).
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang membaca kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”

Ibnu Hajar berkomentar, “Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak menggangu.”
3.   Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,

Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.

Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?

Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”

Rasulullah saw. bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka untuk menyambutnya.”

Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”

Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”

Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meningglakannya semenjak aku mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian.”

Di sini diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/ belum pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dan reaksi Rasul saw. pun membenarkannya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa.

Al hasil, Rasulullah saw. telah men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.

4.   Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata,

“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.

Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintainya.”

Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”

Demikianlah sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi yang mendorongnya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.

Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu diklakukan Nabi saw. adalah yang seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-prakti seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5.    Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid,

dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada nabi saw., maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).

Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., namun kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakunya dengan mengatakan bahwa Allah mencintainya.















  1. Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah

Orang-orang yang tidak sependapat dengan amalan warga  NU biasanya membidahkan amalan warga Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:

  • Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)

  •  Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)

  • Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw.) tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahawi)

  • Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)

  • Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)

  • Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-adakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya." (HR. Daruquthin dari Anas).

Setelah kita membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan ajaran Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku itu bertentangan dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta dalil lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku Doa Bersama Muslim non Muslim ini ini jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada tuntunannya sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat Islam,

bahkan ada perintahnya baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai dengan

  • Mengumpulkan masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab : majlis dzikir).

  •  Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ?
  • Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?

  • Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat Alquran).

  • Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.

  • Doa penutup.

  • Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya.

 Tentunya dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah.

Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH.

Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sahabat Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat Umar ini terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi Arabia  seperti kita lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan mengkhatamkan Qur’an. Hal ini sama lestarinya dengan bid'ahnya para Wali songo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan dengan syariat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun.

Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.

CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH

Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan. Umat islam mengakuinya berdasar dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh berikut,
    
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.

2. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa

3. Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.

4. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan, dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10 H.

5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll

6. Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.

7. Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam pengajarannya dipakai sistem klasikal.

dan masih banyak contoh-contoh lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar