Cari Blog Ini

Selasa, 26 Juli 2011

Hukum Maulid Nabi

  

Tradisi merayakan maulid Nabi SAW. 12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang mengatakan 9 Rabiul Awwal, juga ada yang mengatakan 17 Rabiul Awwal) tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan awam di antara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat.
            Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang  ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW., “Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW., yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW. sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW., menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw. yang mulia.” (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaskan, “Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW., prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).” (Fathul Bari, juz XVII: 10)

Membaca Sholawat
Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi orang-orang NU, disamping amalan-amalan lain. Ada shalawat “Nariyah”, ada sholawat Badr, ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib” dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cita-cita kepada Rasulullah sekaligus ibadah.
Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah sabda Rasulullah, “Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya. Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulkan  100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabnya sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits. Rasulullah SAW. bersabda: Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarakan dan juga dibicarakan, amal-amal kalian disampaikan kepadaku; jika saya tahu amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat ‘ala an-Nabi). Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan ampun umatnya (istighfar) di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar