Cari Blog Ini

Rabu, 15 Juni 2011

HUKUM MAKAN KEPITING


Memang terjadi banyak silang pendapat tentang hukum kepiting di tengah masyarakat. Ada sementara kalangan yang mengharamkannya, tetapi tidak sedikit yang menghalakannya.Hal ini disebabkan karena anggapan bahwa kepiting adalah termasuk binatang yang hidup di dua alam, yang mana ulama syafi'iyah mengharamkan jenis binatang tersebut. silahkan lihat pada penjelasan 'hukum makan binatang 2 alam' di arsip blog ini. padahal sebenarnya kepiting bukanlah termasuk kedalam jenis binatang 2 alam ( barma'i).
 Sehingga kalau pun bisa diterima pendapat bahwa hewan yang hidup di darat dan di air itu haram, toh kepiting tidak termasuk di dalamnya.
 Walhasil, tidak ada alasan untuk mengharamkan kepiting, sehingga hukumnya kembali ke asalnya yaitu halal. Dan kehalalannya dikuatkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Mengenai penjelasan bahwa kepiting bukanlah termasuk kedalam jenis binatang yang hidup di dua alam dapat di lihat pada penjelasan dibawah ini:



Pendapat bahwa kepiting itu bukan hewan dua alam dikemukakan oleh banyak pakar di bidang perkepitingan. Umumnya mereka memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit.
Tetapi tidak demikian halnya dengan kepiting. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, dia mati. Jadi kepiting tidak bisa lepas dari air.
Penjelasan bahwa kepiting bukan hewan amphibi disampaikan oleh ahli dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Sulistiono.

menenai kehalalan kepiting ini diperkuat juga fatwa MUI, sebagai berikut :


·         KEPUTUSAN FATWA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA tentang KEPITING

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama
 dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan
 dan Kosmetika

 Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir
 1423 H./15 Juni 2002 M.,

 Setelah

 MENIMBANG

 1. bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi
 kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;

 2. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan
 fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi
 umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

 MENGINGAT

 1. Firman ALLOH SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan
 thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani,dan sejenisnya,
 antara lain :

 2. "Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
 terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
 karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS.
 Al-Baqarah [2]:168).

 3. "(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
 mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
 mereka,yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka
 dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
 baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk... " (QS.
 al-A'raf[7]: 157).

 4. Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka? "
 Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap
 oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu,
 kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan ALLOH kepadamu. Maka,
 makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama ALLOH
 atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada ALLOH,
 sesungguhnya ALLOH amat cepat hisab-Nya". Maka makanlah yang halal lagi
 baik dari rezki yang telah diberikan ALLOH kepadamu; dan syukurilah
 ni'mat ALLOH jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah
 makanan yang halal lagi baik dari apa yang ALLOH telah berikan kepadamu,
 dan bertakwalah kepada ALLOH yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan
 bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai
 makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan
 panjang,.."(OS. al-Baqarah [2] : 172).

 5. Kemudian Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan
 perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur
 debu.Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit ia berdoa, 'Ya Tuhan,
 ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti
 itu, pada umumnya dikabulkan oleh ALLOH swt. Sedangkan, makanan orang
 itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan
 dengan yang haram. (Nabi memberikan komentar),'Jika demikian halnya,
 bagaimana mumgkin ia akan dikabulkan doanya"... (HR. Muslim dari Abu
 Hurairah).

 "Yang halal itu sudah jelas dan yang harampun sudah jelas; dan di antara
 keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas
 halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang
 siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan
 agama dan harga dirinya..." (HR.Muslim).

 6. Hadis Nabi : "Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya"
 (HR.Khat-iisa11),

 7. Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil
 yang mengharamkannya

 8. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI Periode 2001-2005

 9. Pedoman Penetapan Fatwa MUI

 Memperhatikan :

 1. Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtajila Ma'rifah
 Alfadza-al-Minhaj, (t.t : Dar'al -Fikr,t.th) juz VIII, halaman 150
 tentang pengertian "Binatang laut/air ,dan halaman 151- 152 tentang
 binatang yang hidup di laut dan di daratan

 2. Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbainidalam Mughni
 Al-Muhtajila Ma'rifah Ma'ani Al-Minhaj, (t.t ar Al-Fikr,
 juz IV
 Hal 297 tentang pengertian "binatanglaut/Air ", pendapat Imam Abu
 Zakaria bin Syaraf al-Nawawi dalam Minhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298
 tentang binatang laut dan di daratan serta alasan ('illah) hukum
 keharamannya yang dikemukakan oleh al-Syarbaini :

 3. Pendapat Ibn al'Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid
 Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr,1992), Juz lll, halaman
 249 tentang "binatang yang hidup di daratan dan laut"

 4. Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggot A Komisi Fatwa) dalam
 makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasan yang disampaikannya
 pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab
 29 Mei2002 M./ 16Rabi'ul Awwal 1421 H.

 5. Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
 IPB) dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp) dan
 penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Komisi Fatwa
 MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi'ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002M, antara lain
 sebagai berikut:

 6. Ada 4 (empat) jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi
 komoditas, yaitu :
 a. Scylla serrata
 <http://tausyiah275.blogsome.com/go.php?http://images.google.co.id/image
 s?q=Scylla%20serrata&oe=UTF-8&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:off
 icial&percentage_served=*:100&ie=UTF-8&sa=N&tab=wi> ,
 b. Scylla tranquebarrica,
 c. Scylla olivacea
 <http://tausyiah275.blogsome.com/go.php?http://images.google.co.id/image
 s?q=Scylla%20olivacea&oe=UTF-8&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:of
 ficial&percentage_served=*:100&ie=UTF-8&sa=N&tab=wi> , dan
 d. Scylla pararnarnosain.

 Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut
 dengan "kepiting"
 1. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan:
 a. Bernafas dengan insang.
 b. Berhabitat di air.
 c. Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air
 karena memerlukan oksigen dari air.

 2. Kepiting termasuk keempat jenis di atas(lili._angka 1) hanya ada
 yang:
 a. hidup di air tawar saja
 b. hidup di air taut saja, dan
 c. hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau
 berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.

 Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah
 binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang
 yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat :

 Dengan bertawakkal kepada ALLOH SWT.

 MEMUTUSKAN
 MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING

 1. Kepiting adalah HALAL dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya
 bagi kesehatan manusia.
 2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
 dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana
 mestinya.

 Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya,
 menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

 Ditetapkan di: Jakarta
 Pada tanggal : 4 Rabi'ul Akhir 1423 H. 15 Ju1i2002M

 KOMISI FATWA
 MAJLIS ULAMA INDONESIA


Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Read more »

HUKUM BINATANG DUA ALAM


HUKUM MAKAN BINATANG 2 ALAM
hukum Hewan yang hidup di dua alam, seperti kodok, buaya , penyu, kura-kura, ular dll. dalam hal ini, kepiting bukan termasuk binatang yang hidup di dua alam. lihat 'hukum makan kepiting' di arsip blog ini.

Mengenai hukum makan hewan yang hidup di dua alam, Mazhab Syafii berpendapat tentang keharaman hewan yang hidup di dua alam. Misalnya, katak, penyu dan lainnya. Biasanya orang menyebutkan dengan istilah amphibi, atau dalam istilah fiqihnya disebut barma''i. Keharaman hewan amphibi ini banyak kita dapat di banyak kitab fiqih terutama dari kalangan mazhab As-syafi''i. Salah satunya adalah kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Ar-Ramli. Di sana secara tegas disebutkan haramnya hewan yang hidup di dua alam. Namun, Imam Nawawi dalam kitab Majmu Syarh Muhadzdzab membolehkan memakan hewan yang hidup di darat dan di laut, begitu pula Khatib Al-Baghdadi dan Al-Haytsami, kecuali kodok, buaya, dan ular.
 Namun sebenarnya kesimpulan bahwa hewan yang hidup di dua alam itu haram dimakan, juga masih menjadi ajang perbedaan pendapat.

berikut ini adalah uraian tentang pendapat ulama 4 madzhab mengenai hukum ( halal-haram ) binatang yang hidup di dua alam.



1. Para ulama Hanafi dan Syafi’i mengatakan bahwa binatang itu semua tidak halal dimakan dikarenakan termasuk kedalam binatang yang menjijikan dan memiliki racun seperti ular. Nabi saw melarang membunuh katak. Dan seandainya dibolehkan memakannya maka beliau saw tidak akan melarang untuk membunuhnya.

2. Para ulama Maliki membolehkan memakan katak, serangga dan kura-kura dikarenakan tidak adanya nash yang melarangnya. Dan pelarangan binatang-binatang yang menjijikkan adalah apa yang didalamnya terdapat pernyataan dari syariat dan segala yang dianggap menjijikkan oleh diri seseorang selama belum ada nashnya maka ia tidaklah haram.

3. Para ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa setiap hewan yang hidup di darat yang termasuk kedalam kelompok binatang melata laut maka  ia tidaklah halal tanpa disembelih, seperti burung laut, kura-kura, anjing laut kecuali yang tidak memiliki darah  menurut Ahmad bahwa binatang ini boleh meski tanpa disembelih karena termasuk hewan laut yang hidup di darat, tidak memiliki darah mengalir sehingga tidak memerlukan penyembelihan yang mana hal ini berbeda dengan binatang yang memiliki darah mengalir yang tidak halal tanpa disembelih.

Kemudian beliau mengatakan bahwa buaya tidaklah halal untuk dimakan. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2800)

Alasan lainnya yang menjadikan buaya tidak halal menurut para ulama yang mengharamkannya untuk dimakan adalah bahwa ia termasuk kedalam kelompok binatang buas, sebagaimana riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw melarang semua binatang buas yang memiliki taring dan semua burung yang memiliki cakar.” (HR. Bukhori Muslim) juga yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda bahwa memakan semua binatang buas yang memiliki taring adalah haram”

Dikatakan binatang buas bertaring dikarenakan biantang itu menerkam mangsanya dan menyerangnya dengan taring yang dimilikinya, dan perilaku ini terdapat pada buaya. Bahkan buaya bukan hanya pemakan daging sesama hewan akan tetapi tidak jarang juga ia memangsa manusia dengan cara menerkam dan menyerangnya dengan taringnya.

demikianlah perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum memakan binatang yang hidup di dua alam.

lalu bagaimana kita menyikapinya?

Hukum makan binatang yang hidup di dua alam yang termasuk kategori binatang buas seperti buaya, ular, dan sejenisnya telas jelas keharamannya seperti telah diuraikan diatas. katak, mayoritas ulama mengharamkannya kecuali ulama malikiyah. Tentang Penyu, kura-kura, anjing laut dll,  itu terserah kepada pertimbangan masing-masing dan adat kebiasaan yang diamalkan dalam masyarakat. Jika ada yang berselera dan adat kebiasaan masyarakatnya pula tidak menganggap menjadi jejik dan keji, maka dianggap boleh makan.
Jika sebaliknya, maka dianggap tidak boleh makan.
akan tetapi menurut penulis, selama masih ada makanan yang lain, makan binatang yang hidup di dua alam sebaiknya dihindari. hal ini adalah adalah semata-mata karena berhati-hati terhadap sesuatu yang bersifat subhat.

 Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fikih Sunnah mengutip pendapat Ibnu Arabi mengatakan, "Yang benar hewan yang hidup di dua alam (darat dan air tidak boleh dimakan karena terjadinya pertentangan antara dua dalil, yaitu dalil yang menghalalkan dan dalil yang mengharamkan. Kita menangkan yang mengharamkan karena demi kehati-hatian dan menjaga diri."

Wallahu alam bish shawab,

Read more »

KAIDAH FIKIH MAKANAN


KAIDAH FIKIH TENTANG MAKANAN


Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda:

أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ
 
“Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya”.
Kaidah fiqh:
Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya.
firman Allah Ta’ala,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya.” (QS. Al An’am: 145)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Kaum muslimin yang paling besar dosanya adalah yang bertanya tentang sesuatu, lantas sesuatu tersebut diharamkan karena pertanyaannya, padahal sebelumnya tidak diharamkan.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 2358)
Dalil di atas menunjukkan bahwa asal segala sesuatu itu halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Firman Alloh:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi “(QS Al Baqarah: 168)
Maka Alah tidak merinci satu persatu makanan halal di Al-Qur’an begitu pula tidak dirinci dalam hadits Rasulullah saw. Namun untuk makanan haram Allah telah merinci secara detail dalam Al-Qur’an atau melalui lisan RasulNya. Allah berfirman :

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al-An’am: 119)
Mengenai perincian makanan yang jelas keharamannya bisa dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 3
sbb:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” (QS. Al-Maidah: 3)
Read more »